Senin, 31 Januari 2011

Berkunjung ke Istana Gebang Blitar dimana Proklamator Kita Soekarno Menghabiskan Masa Kecilnya

Pada hari Sabtu tanggal 29 Januari 2011, kami berkesempatan mengunjungi Kota Blitar, dan kami tidak menyi-nyiakan kesempatan untuk mengunjungi Istana Gebang yang konon katanya sebuah rumah tempat dimana proklamator kita Soekarno dilahirkan dan menghabiskan masa kecilnya (untuk cerita ini kita simak tulisan dalam blog ‘Cah jengkol” ).
Masuk komplek Istana gebang yang luasnya sekitar 2 hektar dengan tiga bangunan dimana satu bangunannya adalah rumah utama yang disebut Istana Gebang, aku merasakan suasana sama ketika waktu masih kecil ke rumah rumah dinas pabrik gula yang ada di kampungku di Sindang Laut Cirebon. Kata salah seorang pengelola di Istana Gebang ini: rumah ini dibangun sekitar tahun 1860-an (?). Rumah bergaya kolonial: beratap tinggi, luas dengan warna khas jawa yaitu pintu, jendela dan kusen-kusennya berwarna hijau tua.
Menurut beberapa informasi yang didapat bahwa karena para ahli waris pemilik Istana Gebang ini mengalami kesulitan untuk biaya perawatannya yang tinggi dan saat ini Istana Gebang sudah dibeli oleh Pemda Kota Blitar bersama Pemprov Jawa Timur senilai Rp 35 milyar.

Namun bagaimanapun, aku sangat menyukai arsitektur, landskap, kedamaian dari Istana Gebang ini.

Berikut saya simak tulisan di Blog ‘cah jengkol’ tentang sejarah Istana Gebang ini:
Hari ini, saya menyengaja datang ke Ndalem Gebang atau Istana Gebang di jalan Sultan Agung, Gebang Kota Blitar. Seperti kebanyakan orang menyebut dan membenarkannya, Istana Gebang adalah Rumah Bung Karno, (Proklamator/ Presiden pertama RI) di Blitar. Saya sendiri sejak 2004, dengan beberapa keterangan yang telah saya kumpulkan melalui buku-buku, juga mendatangi banyak nara sumber yang berkompetensi untuk menjawab ihwal keberadaan “Rumah BK” di Blitar itu, akhirnya menyimpulkan bahwa Istana Gebang sebenarnya tidak secara langsung disebut sebagai “Rumah Bung Karno”.
Penelusuran saya pun tak terhenti, apalagi saat pengumpulan data dan bahan untuk pembuatan dokumenter film Soekarno The Founding Father kala itu. Tahun 2006, saya mengenal Den B.I. Mardiono Gudel, penulis buku “Napak Tilas Jejak Jejak Kaki WONG BLITAR Dari Masa Ke Masa”, bersamanya saya banyak mendiskusikan juga mengenai Bung Karno masa kecil, remaja dan keterkaitannya dengan Ndalem Gebang. Dan siang tadi, untuk kesekian kalinya, saya kembali menemui Mardiono Gudel yang juga salah seorang pencetus serta pendiri KOMUNITAS PEMERHATI WARISAN BUDAYA BLITAR ( BLITAR HERITAGE SOCIETY / BHS) . Selaras dengan pendapat saya, Mardiono Gudel pun ternyata memaparkan beberapa hal yang bersangkut paut mengenai keberadaan Bung Karno dan Ndalem Gebang. Sejenak saya tinggalkan beliau, kembali saya meluncur ke Ndalem Gebang untuk “mengambil gambar”, piker saya mumpung masih pagi, cerah dan tidak terlalu panas, sekitar jam 10 pagi.
Semenjak “Rumah Bung Karno di Blitar di Jual 50 Milyar” menjadi pemberitaan media massa, setidaknya beberapa hari ini, banyak warga Blitar yang datang ke Ndalem Gebang, untuk melihat keberadaannya. Atau hanya melintas di jalan Sultan Agung, lalu melambankan kendaraannya dan berhenti sesaat di depan gerbang masuk Ndalem Gebang. Mereka tentu penasaran, apa iya Ndalem Gebang yang selama ini menjadi salah satu kebanggaan warga Blitar dijual.
Hingga menjelang jam setengah sebelas, NDalem Gebang masih tampak sepi pengunjung. Di halaman sebelah kanan pintu masuk, beberapa pedagang souvenir menggelar dagangannya dengan menghamparkan plastik atau tikar. Entah, apa mereka juga mempedulikan nasib rumah yang masuk cagar budaya itu.
Didalam Ndalem Gebang, nampak beberapa rekan journalist lain yang sedang “mengambil gambar”. Nampaknya rekan dari JTV Surabaya, lalu terlihat juga rekan kamerawan SCTV. Mereka nampak benar – benar serius dalam pengambilan gambar, dari berbagai sudut ruangan. Mulai Ruang tamu utama beserta perabotnya, hingga ruang tidur, dan ruang belakang. Semua tak luput dari sorotan handycam yang mereka bawa.
Saya tak lama ambil gambar Ndalem Gebang, lalu kembali meluncur ke tempat Pak Mardiono Gudel, yang lokasinya memang bertetangga dengan Ndalem Gebang. Tak lama kemudian, beliau langsung memberikan paparannya mengenai masa kecil – hingga remaja Bung Karno dan keterkaitannya dengan Ndalem Gebang. Beberapa hal yang secara rinci disampaikan oleh Mardiono Gudel ini, rencananya akan disampaikan kepada Walikota Blitar, Ketua DPRD Kota Blitas, serta Kepala Dinas Inkomparda Kota Blitar, melalui surat resmi atas nama KOMUNITAS PEMERHATI WARISAN BUDAYA BLITAR ( BHS/ BLITAR HERITAGE SOCIETY ).
Berikut petikannya :
Ndalem Gebang atau Istana gebang Rumah itu memang bukan Bung Karno yang punya. Juga bukan R.Soekemi Sosrodihardjo  yang membeli. Dan masa kecil Bung Karno juga tidak dirumah itu. “Lho .....apa benar demikian? Terus bagaimana sesungguhnya?”
Sejarah perlu diluruskan. Image harus diubah. Ada tempat lain yang lebih memiliki semangat untuk dilestarikan. Dan perlu diangkat menjadi cagar budaya “Jejak-jejak Soekarno kecil dalam mengembangkan pribadinya menjadi manusia besar abad 20”. Banyak tempat yang perlu memperoleh perhatian, sehingga dapat tersusun secara kronologis loncatan dari satu tempat ketempat tersebut.
Untuk penelusuran seluruh rangkaian peristiwa itu bingkai utamanya adalah buku “Bung Karno and an Autobiography” yang dituturkan oleh beliau (BK) sendiri dan ditulis oleh Cindy Adam. Diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul “Bung Karno penyambung lidah rakyat Indonesia” oleh Major Abdul Bar Karim, terbitan Gunung Agung-Jakarta, 1966.  Sumber-sumber lain dapat melengkapi sepanjang tidak menyimpang dari alur yang telah terbingkaikan oleh buku tersebut. Adapun tempat tempat yang perlu ditelusuri itu adalah :
<!--[if !supportLists]-->1.   <!--[endif]-->Tempat lahir bayi Soekarno Tanggal 6 Juni 1901 yang sementara ini disebut di Lawang Seketeng di Surabaya. Dimana tempat itu sekarang? Apakah juga tempat yang ditunjuk oleh Bung Karno sebagai tempat tinggalnya sebelum keluarga Soekemi Sosrodiharjo pindah ke Mojokerto, yaitu di jalan Pahlawan 88 seperti tertulis di buku tersebut diatas halaman 30 alinea 2 yang berbunyi sebagai berikut :
“Dengan kakakku perempuan Soekarmini, jang dua tahun lebih tua daripadaku, kami merupakan suatu keluarga jang terdiri dari empat orang. Gadji bapak f 125. Dikurangi sewa rumah kami di Djalan Pahlawan 88, neratja mendjadi f15 dan dengan perbandingan kurs pemerintah f 3,60 untuk satu dollar dapatlah dikira-kira betapa rendahnya tingkat penghidupan keluarga kami.”

<!--[if !supportLists]-->2.     <!--[endif]-->Tempat masa kecil Bung Karno setelah ayahandanya R. Soekeni Sosrodihardjo dipindahkan tugasnya sebagai guru di Mojokerto ketika Bung Karno berusia 6 tahun. (Halaman 30 Alinea 3 yang berbunyi “ Ketika aku berumur  enam tahun kami pindah ke Modjokerto. Kami tinggal didaerah jang melarat dan keadaan tetangga-tetangga kami tidak berbeda dengan keadaan sekitar itu sendiri, akan tetapi mereka selalu mempunyai sisa uang sedikit untuk membeli pepaya atau jajan lainnya. Tetapi aku tidak. Tidak pernah”.)
3.  <!--[endif]-->Tempat sementara ketika ikut  neneknya di Tulungagung. (Halaman 37 alinea 3 yang berbunyi “Sewaktu aku berumur sekitar empat-lima tahun nenekku dari pihak bapak hendak membawaku ketempatnya. “Berikan anak itu kepadaku untuk sementara,” katanya. “Aku akan menjaganya.” Dan begitulah aku tinggal di Tulungagung yang letaknya tidak jauh dari Mojokerto”.)

Kalimat yang menyebutkan ” letaknya tidak jauh dari Mojokerto”, menandakan bahwa ketika itu keluarga R. Soekemi Sosrodihardjo telah pindah ke Mojokerto, tetapi ketidaksamaan penyebutan umur oleh beliau sendiri antara kedua petikan kalimat diatas memang membawa kerancuan ketepatan waktunya. Tetapi tidak berdampak penyimpangan yang berarti. Anggap keduanya saat itu Bung Karno usia lima tahun ketika awal pindah dari Surabaya ke Mojokerto. Sebelum keluarga itu memperoleh tempat tinggal yang tetap, Bung Karno untuk sementara ikut nenknya di Tulungagung. Setelah waktunya bersekolah diambil lagi oleh Ayahandanya.
<!--[if !supportLists]-->4.  <!--[endif]-->Tempat sekolah Bung Karno hingga kelas lima, berarti awal beliau sekolah masuk ke sekolah pribumi (Schoolen de eerste klasse), yaitu sekolah untuk pribumi dari kalangan menengah. (Halaman 39, alinea 2 yang berbunyi : “Dipagi hari aku bergembira, karena aku bersekolah disekolah bumiputera, dimana kami semua sama. Kami semua tigapuluh orang murid di Inlandsche School kelas dua (sesungguhnya kelas satu, kelas dua atau disebut “sekolah ongko loro” hanya sampai kelas 3). Bapakku menjadi mantri guru, yang berarti kepala sekolah. Orang bumi putera dilarang memakai pangkat Kepala Sekolah.”
<!--[if !supportLists]-->5.    <!--[endif]-->Tempat sekolah Bung Karno di ELS (Eropesche Lagere School) Mojokerto, yaitu sekolah lanjutan setelah selesai 5 tahun dari Indlandsche School. ( ada peluang untuk melanjutkan ketingkat lebih atas setelah kelas 5, yaitu Holandsche Indlandsche School /HIS 7 tahun. Selanjutnya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs /Mulo 3 tahun sebagai sekolah untuk mempersiapkan kejenjang menengah AMS, untuk pribumi golongan menengah. Sedang untuk golongan atas dan golongan Eropa melalui Eropesche Lagere school/ELS 8 tahun, dengan pengantar harian bahasa Belanda). Artinya Bung Karno harus menambah duduk disekolah itu selama 3 tahun lagi, untuk seterusnya melanjutkan ke Hogere Burger School (HBS) di Surabaya. Untuk dapat melewati pendidikan ini hanya berlaku untuk pribumi golongan menengah dari keluarga bangsawan atau mempunyai saudara/rekan yang mendukung. (Halaman 39 alinea 4-8 yang berbunyi “Ketika aku naik kelas lima, bapak menerangkan maksudnya. “Tjita-titaku hendak mengirim kau kesekolah tinggi Belanda.” Katanya. “Karena itu, usaha kita jang pertama ialah memasukkan engkau ke sekolah rendah Belanda.”..........”kau masuk dengan hak istimewa. Pegawai Gubernemen dan orang kelahiran bangsawan diberi kesempatan untuk menikmati pendidikan Belanda. Jang lain tidak.”

<!--[if !supportLists]-->6.  <!--[endif]-->Tempat sekolah Bung Karno di HBS. (sekarang di jalan Tidar Surabaya). Saat itu dinyatakan  beliau berusia 15 tahun.(Halaman 45 alinea 5 yang berbunyi : “ Ditahun 1916 maka Surabaja merupakan kota pelabuhan.............Ketengah-tengah kancah yang mendidih demikian itulah seorang anak ibu berumur 15 tahun masuk dengan menjinjing sebuah tas kecil.”)
<!--[if !supportLists]-->
 7.  Tempat pemondokan Bung Karno di Peneleh gang 7, rumah HOS. Cokroaminoto Ketua Serikat Islam. (Halaman 46 alinea 2 dan 3 yang berbunyi : Keluarga Tjokroaminoto terdiri dari enam orang. Jaitu Pak dan Bu Tjokro, anak-anaknja Harsono yang 12 tahun lebih muda daripadaku, Anwar 10 tahun lebih muda, putri mereka Utari lima tahun lebih muda dan seorang bayi...........Menyimpang dari djalanan jang sedjadjar dengan kali itu ada sebuah gang dengan deretan rumah dikiri-kanannja dan ia terlalu sempit untuk djalan mobil.  Gang kami namanya gang 7 peneleh. Pada seperempat djalan djauhnja masuk ke gang itu berdirilah sebuah rumah buruk dengan paviliun setengah melekat. Rumah itu dibagi mendjadi sepuluh kamar-kamar kecil, termasuk ruang loteng. Keluarga Pak Tjokro  tinggal didepan, kami yang bajar-makan dibelakang).
<!--[if !supportLists]-->8.      <!--[endif]-->Ditahun 1917 R. Soekemi Sosrodihardjo dipindahkan ke Blitar. Tak diceritakan oleh Bung Karno ditempat mana Ayah dan ibunya tinggal. Kakaknya Soekarmini sudah menikah dengan seseorang yang benama pak Poegoeh yang usianya lebih tua enam tahun dari Bung Karno. Atau empat tahun dari kakaknya, seorang pegawai Kantor pengairan dari Departemen Pekerdjaan umum. Dari beliaulah kekurangan uang untuk keperluannya di Surabaya mendapatkan tambahan. (Halaman 47).
Dari tutur para orang tua, sebagai guru di sekolah pendidikan guru untuk sekolah pribumi (Normal School, sekarang SMA. Negeri I Blitar) R. Sukemi memperoleh rumah dinas untuk tempat tinggalnya, bagian paling barat dari tiga rumah dinas yang terletak di sebelah kiri halaman sekolah menghadap ke utara. (sekarang rumah disamping timur kantor Dinas Pendidikan Daerah Kota Blitar). Adapun Direktur sekolah yang dipegang oleh Belanda menempati rumah dinas disebelah kanan sekolah, berdekatan dengan asrama pelajar.
Dirumah inilah Bung Karno menghabiskan waktunya setiap pulang ke Blitar mengambil uang saku dan pemondokkanya serta saat-saat liburan sekolah. Sekali waktu saat pulang berlibur dan sedang berada di Wlingi mengunjungi salah satu kawannya terjebak oleh aliran lahar alibat meletusnya Gunung Kelud di tahun 1919 (dibuku tertulis tahun 1918, halaman 50-51). 
<!--[if !supportLists]-->9.    <!--[endif]-->Sedemikian besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk keperluan belajar Bung Karno,      hingga akhirnya R. Sukemi tidak sempat menabung untuk kepentingannya sendiri, termasuk untuk membeli rumah. Keadaan yang serba kekurangan ini juga ditulis dalam buku tersebut. (Halaman 47). Apalagi setelah masuk ke Technische Hoge School (THS) di Bandung, karena ketika itu Bung Karno telah menikah dengan Utari putri Cokroaminoto dan belum bekerja, meskipun dalam hal ini tak ditulis dibuku, tentunya dapat digambarkan betapa besarnya keperluan Bung Karno yang perlu dipikul oleh ayahandanya. Untungnya Kakaknya Soekarmini dan suaminya sangat mendukung kelancaran studi Bung Karno di jurusan tehnik sipil tersebut, karena masuknya ke jurusan itu memang atas prakarsa Pak Poegoeh sebagai pegawai pengairan sekaligus pemborong bangunan-bangunan Jembatan. Kesempatan untuk membeli rumah yang terletak di Gebang (sekarang Jl. Sultan Agung 59) timbul menjelang ayah Bung Karno pensiun, berkat dorongan pak Kartowibowo rekan seperjuangan mendirikan yayasan pendidikan “ Mardisiswo ”,  yang didirikan oleh empat serangkai R. Sukemi Sosrodihardjo, R. Kartowibowo, R. Miyarso dan R. Sosrosudirdjo dengan mengadakan Sekolah Dasar berbahasa Belanda untuk semua kalangan pribumi yaitu Holands Indische Scholl Partikelir (HIS.P, sekarang SD. Kepanjenlor II). Rumah itu bekas milik Belanda yang telah dibeli oleh Pak Kartowibowo di tahun tigapuluhan atas usahanya meminjam uang dari Bank. Oleh Pak Poegoeh yang saat itu sudah bercerai dengan bu Soekarmini tetapi masih berhubungan dengan baik karena masih mempunyai ikatan dengan putranya yang berjumlah empat orang, tanah itu dibayar, disamping melanjutkan cicilannya ke bank yang ditanggung bersama oleh kedua orang, mertua dan mantan menantunya. Menurut mas Bambang Tutuko Poegoeh, cucu dari anak Pak Poegoeh yang bernama Hari Poegoeh, pengoperan kepemilikan rumah itu berlangsung sekitar tahun 1936. Artinya Bung Karno sudah di pembuangan.
<!--[if !supportLists]-->10.  <!--[endif]-->Ditahun 1943 Rumah itu didiami oleh Bu Soekarmini dengan suami keduanya, yaitu Pak Wardoyo beserta keempat putra dan putri dari Pak Poegoeh. Sedang Ayah dan Ibu Bung Karno tinggal bersama Bung Karno dengan Bu Fatmawati yang  saat itu telah mengandung mas Guntur, di Pegangsaan Timur 56 Jakarta, tempat Kemerdekaan Bangsa Indonesia di Proklamirkan. Sayangnya R. Sukemi Sosrodihardjo tak sempat melihat putra tercintanya saat memproklamasikan kemerdekaan bangsanya, karena telah wafat di awal tahun 1945, beberapa bulan setelah bu Fatmawati melahirkan mas Guntur. Selanjutnya Ibunda Bung Karno Idayu Nyoman Rai diboyong pulang ke Blitar oleh Pak Wardoyo sekalian, hingga wafatnya di tahun 1958, karena Bung Karno semakin banyak disibukkan untuk kepentingan mempersiapkan Kemerdekaan Bangsanya.  
Dari beberapa petikan yang tersurat di buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia tersebut dan beberapa tutur orang tua, nampak bahwa Rumah di Gebang tadi tak memiliki keterkaitan dengan kelahiran maupun masa kecil Bung Karno. Tetapi bukan berarti rumah itu tidak memiliki arti. Ketika akan terjadi perlawanan tentera “PETA” kepada Jepang di Blitar, dirumah itu Bung Karno bertemu dengan Supriyadi yang hendak menyampaikan maksudnya.
Halaman 290-291 tertulis antara lain : “ Dalam bulan Pebruari, meletuslah pemberontakan bersendjata di asrama PETA  di Blitar “..............Apa jang tidak diketahui orang sampai sekarang ialah bahwa Soekarno sendiri tersangkut dalam pemberontakan ini. Bagi orang Djepang maka pemberontakan PETA merupakan suatu peristiwa jang tidak diduga sama sekali. Akan tetapi bagi Soekarno tidak. Aku telah mengetahui sebelumnya. Ingatlah bahwa rumahku di Blitar. Orang tuaku tinggal di Blitar. Pada waktu aku berkundjung pada orang tuaku ke Blitar (waktu itu beriringan dengan meninggalnya ayahanda Bung Karno yang dimakamkan di Jakarta dan diboyongnya ibunya Idayu Nyoman Rai oleh P. Wardoyo kembali ke Blitar), beberapa orang perwira PETA datang kepadaku. Para perwira ini mempersoalkan maksud mereka hendak mengadakan pemberontakan. “Kami baru mulai merencanakan.” Mereka menyampaikan dengan kepercayaan penuh. “ Akan tetapi kami ingin mengetahui pendapat Bung Karno sendiri.   ............................” 
Kehendak ingin mengetahui bagaimana masa kecil, remaja dan dewasanya pendiri bangsa memang diminati banyak orang.. Dan lebih baik lagi dapat mengetahui bagaimana Ayah dan bundanya dapat mencetak putranya sehingga menjadi sosok yang seluruh jiwa dan raganya, hidup dan matinya hanya untuk kepentingan bangsanya. Menempatkan Bung karno dirumah pemondokan Cokroaminoto itu sendiri sudah dapat diraba apa gerangan yang dikehendaki oleh R. Soekemi Sosrodihardjo.
Dari kata-kata yang tertuang dalam buku itu telah dapat ditarik benang merah apa dan bagaimana hubungan beliau berdua. Sukemi dan Cokroaminoto.
“Ketika datang waktunja untuk masuk sekolah menengah, bapak sudah tahu apa jang harus dikerdjakannja. Ia menggunakan pengaruh kawan-kawannja untuk memasukkanku kesekolah menengah jang tertinggi di Djawa Timur, jaitu Hogere Burger School di Surabaja. >Nak,” katanja. “Maksud ini sudah ada dalam pikiranku semenjak kau dilahirkan kedunia.” Semua telah diaturnja dan aku akan tinggal di rumah HOS. Tjokroaminoto, ialah orang jang kemudian merobah seluruh kehidupanku. >Tjokro,” ia mnerangkan padaku. “Adalah kawanku di Surabaja sedjak sebelum kau ada” (halaman 41).
Sukemi Sosrodihardjo seorang guru yang harus setia kepada Pemerintah Hindia Belanda, Cokroaminoto pemimpin sebuah gerakan yang notabene menentang Belanda. Dua sosok yang latar belakangnya berbeda tetapi hubungan yang dekat tadi pasti memiliki kesinambungan rasa, gagasan dan harapan. Artinya Sukemi juga sosok pengikut pergerakan nasional yang sedang bersemi saat itu.
Di Blitar di tahun 1914 pernah diselenggarakan konggres pertama Serikat Islam sejak didirikannya di tahun 1912. Kenapa Cokro memilih Blitar. Siapakah kawan Cokro yang lain yang berada di Blitar kalau Sukemi baru masuk ke Blitar di tahun 1917? Jangan-jangan Bung Karno waktu menguraikan riwayatnya kepada Cindy Adams keliru seperti kekeliruanya menyebut meletusnya gunung Kelud. Dia berhadapan dengan Cindy Adams sudah berusia 64 tahun. Membuka memory masa silam mungkin bisa keliru. Siapa tahu di tahun 1914 itu Sukemi sudah pindah ke Blitar dari Mojokerto. Kalau memang demikian halnya, mungkinkah selesainya sekolah Bung Karno dari ELS berarti di Blitar (sekarang SMP.I Blitar)?
Marilah kita cemati kalimat di halaman 42 yang berbunyi :
“Aku tidak membawa apa-apa ketika berangkat ke Surabaya. Tak ada barang untuk dibawa. Satu-satunja jang mengikuti kepergianku adalah sebuah tas ketjil dengan pakaian sedikit. Bapak menunjuk salah seorang guru untuk mengiringi perdjalananku dikereta api jang lamanja enam djam itu. Tidak dirajakan. Tidak dipestakan kepergianku itu.”
Dari kalimat “Lamanya enam jam” ke Surabaya dari sebuah tempat di kota Bung Karno dan ayah ibunya tinggal. Kota mana paling tepat yang diperkirakan?
Jarak Mojokerto ke Surabaya hanya 50 km. Sekalipun dengan kereta api uap, waktu yang ditempuh tak akan lebih dari dua jam. Perjalanan enam jam dengan kereta uap waktu itu paling ideal adalah jarak Blitar-Surabaya, baik lewat Malang atau Kertosono. (Sekarang hanya 5 jam).
Dari kesimpulan ini dapat diraba bahwa kepindahan R. Sukemi Sosrodihardjo menjadi Guru di Blitar pasti sebelum Bung Karno lulus dari ELS. Bukan di tahun 1917. Artinya pertanyaan diatas tadi terjawab bahwa Bung Karno memang lulusan ELS. Blitar. Sekalipun mungkin saat masuknya masih di ELS. Mojokerto. Dan tempat tinggalnya adalah rumah dinas Normal School (sekarang rumah dihalaman bagian barat-depan  SMUN. I Kota Blitar).
Ada tutur lain yang mewartakan bahwa almarhumah Ibu Tokijo yang bertempat tinggal di Jl. Dr. Wahidin (pojok tenggara stadion, selatan kantor kelurahan Kepanjenlor adalah kawan sekolah bersama ibu Soekarmini di Meisyees Normal School (Sekolah Guru Putri) Blitar. Tentunya saat itu sebelum ibu Soekarmini menikah dengan pak Poegoeh. Artinya sebelum tahun 1916 keluarga R. Soekemi sudah berada di Blitar. Informasi ini dapat ditelusuri melalui putra-putri ibu Toekijo yang mengetahui keakaraban kedua sahabat itu hingga sama-sama tua.
=====

Lalu apa yang perlu kita perbuat sekarang?
Jawabnya adalah meluruskan yang keliru dan melestarikan untuk menjadikan Cagar budaya Sejarah Nasional Indonesia sekaligus sejarah daerah bangunan yang selama ini terabaikan, memugar sedapat mungkin sesuai bentuk semula, untuk senantiasa diketahui oleh setiap generasi ke generasi berikutnya. Disamping senantiasa melakukan pengkajian yang terus menerus untuk semakin memiliki nilai yang faktual, valid dan obyektif.
(gp/mardiono) 
Berikut adalah koleksi foto foto kami ketika berkesempatan berkunjung ke Istana Gebang Blitar:
Paket Naik Beca ke Istana Gebang = 10 rb

Tampak Depan Istana Gebang

Ruang Tamu Istana Gebang

Lorong Menuju Ruang Tengah

Ruang Tengah Istana Gebang

Sudut Ruang Tengah

Ruang Makan yang Berada Di Bagian Belakang

Ruang Belakang. Aku ingin punya seperti ini..

Penghubung ke Ruang Bagian Belakang

Konon, Sudah Dibeli Pemda = 35 Milyard

Bercengkerama Dengan Nelayan Senggigi Lombok

Sebenarnya aku lagi ada tugas pertemuan di Hotel Sentosa Senggigi Lombok, namun ada keinginan untuk sekedar ngobrol ngobrol dengan masyarakat setempat, kebetulan jam 5 sore ini seusai pertemuan ada waktu luang sebelum mengikuti lagi pertemuan lanjutan nanti malam. aku berjalan ke belakang Hotel Sentosa Senggigi ini dan disana ada pantai cantik dengan beberapa turis asing lagi menikmati debur ombak pantai Senggigi serta ada deretan perahu cadik warna warni milik nelayan yang khas lombok dimana kanan kirinya bersayap (cadik) yang terbuat dari bambu betung, dimana sayap ini dapat menerjang gelombang besar yang dihadapinya.

Aku hampiri satu dari deretan perahu perahu nelayan itu yang terlihat baru mendarat setelah melaut mencari ikan. Nelayan yang aku hampiri bernama Pak Kadir berumur 42 tahun beranak 3. Dari dialah, aku jadi tahu sedikit tentang nelayan dan perahu perahu yang berderet di belakang Hotel Sentosa Senggigi tersebut.
Nelayan dan perahu yang berderet di pantai Senggigi ini adalahnelayan  nelayan Ampenan yang berjarak sepuluh kilometeran dari Senggigi. Di Ampenan para nelayan ini tidak dapat melaut karena ombak besar di musim barat seperti ini. Sedangkan di pantai Senggigi, ombaknya tidak terlalu ganas karena terlindungi dalam sebuah teluk.
Perahu cadik dengan sebutan setempat dengan jukung pelopor yang digunakan untuk mencari ikan tongkol adalah umunya perahu milik sendiri yang harganya untuk perahu kayu tersebut sekitar 12 jutaan, mesin tempelnya bermerek suzuki atau yamaha seharga 19 juta dan peralatan penangkapan ikannya berupa jaring dan alat pancing berharga 3 jutaan. Kalau melaut mencari ikan, perahu ini hanya diawaki oleh satu orang saja. Tentunya ini memerlukan keahlian tersendiri karena selain menangkap ikan juga harus sekalian sambil mengendalikan perahunya.
Umumnya para nelayan ini melaut sekitar 4 jam, misalnya kalau berangkat jam 5 pagi, pulangnya itu jam 9 an, begitu juga kalau yang melautnya jam 1 siang maka biasanya jam 5 baru mendarat (seperti yang aku lagi saksikan sekarang ini). Melautnya tidak jauh jauh dari pantainya dan dalam sekali melaut menghabiskan bensin sekitar 20 liter atau senilai Rp 110 ribu.

Target yang ikan yang ditangkap adalah tongkol. Yang didapat umumnya berukuran sekilo 3 atau 2 ekor. Alat tangkap yang digunakan adalah pancing namun perlu dibantu dengan jaring insang. Kalau soal hasil ikan tangkapannya, itu tidak dapat diprediksi hasilnya. Bisa sekali melaut dapat 200 ekor atau tidak dapat sama sekali. Kata Pak Kadir: namanya juga berburu maka hasilnya tergantung kepada keberuntungan.
Begitu mendarat, ibu ibu para bakul ikan sudah langsung mengerubutinya. Dan ikan ikan tongkol itu dibeli langsung dengan harga rata rata Rp 4000 per ekornya.

Jadi berapa pendapatan nelayan kita ini? itu sulit dihitungnya. Mangkanya pendampingan terhadap nelayan nelayan kita ini dari berbagai pihak terhadap manajemen usahanya atau juga peningkatan keahliannya untuk scalling up misalnya -sangat diperlukan- sekali.
Pulang Melaut 1

Pulang Melaut ll

Disambut Bakul ikan

Sangat Lumayan

Dapat Lumayan Banyak

Dihargai 4000 per ekor


Membersihkan dan Merawat Jaring

Berteman Dengan Nelayan Tangguh

Begitu Bermaknanya Perkawinan Adat Jawa

Pada hari Minggu tanggal 30 Januari 2011, kami menghadiri pernikahan adik ipar saya di Blitar Jawa Timur. Kesempatan itu selain turut berbahagia atas pernikahan itu, sayapun sempat memperhatikan pernikahan adat Jawa khusnya Blitar ini. Saya sangat terpesona dengan acara yang sakral dan tentunya penuh makna yang divisualisasikan dalam bentuk simbol simbol tahapan upacara.
Pernikahan adat Jawa sebagaimana perkawinan adat lainnya adalah kesempatan untuk memberikan petatah petitih / nasehat dalam bentuk ritual adat,  dimana kalau kita ikuti petatah petitih dalam bentuk simbol itu, setidaknya kita akan lebih lapang untuk mengarungi kehidupan ini.
Langkah langkah upacara perkawinan adat Jawa ini khususnya di Blitar dimulai setelah pengucapan akad nikah, langkah itu adalah sebagai berikut:
Langkah l; panggih, yaitu dimana pengantin laki laki dipertemukan dengan pengantin perempuan,    yang kini telah dipersatukan dalam ikatan perkawinan.
Langkah ll: balangan gantal, yaitu saling lempar daun sirih dimana artinyanya adalah daun itu terdiri  dua sisi namun tetap saja itu satu daun atau  bermakna bahwa kehidupan selalu ada dua      anak manusia selalu ada perbedaan tetapi harus tetap satu walaupun pahit rasanya   seperti rasa daun sirih dalam mengarungi bahtera rumah tangga agar cita cita yang diangankan dapat tercapai.
Langkah lll: midak tigan atau menginjang telor ayam bermakna bahwa rumah tangga itu harus mandiri, harus bisa memecahkan sendiri persoalan  yang timbul.
Langkah IV: toya wening atau masing masing pengantin laki perempuan meminum air putih dimana
artinya adalah memandang persoalan itu harus secara jernih.
Langkah V: sinduran atau pengantin laki perempuan dikerudung kain merah putih dan dipapah oleh mertua perempuan artinya adalah orang tua selalu mengantarkan kepada kebaikan dan selalu mengingatkan untuk amar ma’ruf nahi mungkar.
Langkah VI: krobongan dimana pengantin laki perempuan sudah berada di pelaminan. Krobongan ini terdiri dari:
1.    Bobot timbang dimana pengantin perempuan duduk di pangkuan ibunya dan pengantin laki duduk di pangkuan bapak mertuanya. Ini bermakna bahwa orangtua itu tidak akan membedakan perlakuan kepada anaknya atau kepada menantunya.
2.   Tanem jero atau mendudukkan penganten laki perempuan oleh pihak orang tua penganten perempuan di pelaminan yang berarti bahwa kini sudah diwisuda sebagai keluarga yang mandiri.
3.   Kacar kucur atau mengucurkan beras beserta koin uang oleh pengantin laki laki yang diterima oleh pengantin perempuan yang artinya adalah bahwa pihak laki laki bertanggung jawab untuk menafkahi lahir batin istrinya.
4.   Dahar boga jenar atau saling bersuap nasi kuning antara pengantin laki dan perempuan yang artinya adalah dalam berumah tangga pahit manis makan tidak makan harus tetap dalam satu biduk.

Langkah VII: mapag besan atau pihak penganten menjemput orang tua penganten laki laki untuk ke
pelaminan
Langkah VIII: sungkeman kepada orangtua dari pihak penganten laki maupun perempuan sebagai
tanda hormat.
LangkahIX: walimahan atau resepsi.

Sungguh maknanya dari upacara adat perkawinan adat Jawa itu sangat dalam dimana dapat menuntun ke arah kebaikan. Kita wajib untuk melestarikannya.

Penulis: didi sadili















Sabtu, 29 Januari 2011

Restoran Toko Oen, Sebuah Restoran Jaman Belanda (1930) di Kota Malang

Restoran Toko Oen, yang sudah berdiri dari tahun 1930, dahulunya adalah restoran bagi orang orang Belanda, maka tidak heran menu yang disajikan adalah panganan yang disukai oleh orang orang Belanda ini, seperti: gado gado, sate ayam, sop buntut, lumpia, serabi, berbagai roti dan tentu ragam es krim.

Sampai saat ini restoran ini masih exist, hal ini terlihat dari masih banyaknya para pengunjung untuk menikmati panganan dan suasana jaman kolonialnya itu. Namun sayang, kursi rotan yang sudah ada dari dahulunya, sudah pada bolong bolong dan rusak. Mungkin lebih baik direnovasi dengan tidak meninggalkan nuansa interior jaman baheulanya itu. Kalau boleh memebri contoh adalah seperti restoran yang berada di Hotel Victoria Amsterdam saat ini.
Suasana Restoran Toko Oen Kini

Sedikit Mejeng

Di Halaman Restoran yang Sdh ada Sejak 1930

Bersama Istri Tercinta

Namun demikian, kunjungan kami Sabtu tanggal 28 Januari 2011 ke restoran ini, cukup memuaskan keinginan berpetualang di jagat kuliner nusantara.

Selamat menikmati

Penulis: didi sadili

Kamis, 27 Januari 2011

Pantai Pasir Padi Pangkalpinang Bangka

Tanggal 26 Januari 2011 sore hari lalu, kami sesampainya di Pangkalpinang sepakat untuk cari makan dengan nuansa laut. kebetulan yang menjemput kami di bandara adalah Pak Benny yang asli orang Bangka dan pasti tahu banyak tentang Bangka. Kamipun memintanya untuk mengantarkan ke rumah makan di dekat pantai tetapi berada sekitar Kota Pangkalpinang. Pak Benny-pun langsung mengusulkan untuk pergi ke Pantai Pasir Padi.
Ternyata Pantai Pasir Padi itu tidak jauh dari pusat kota Pangkalpinang, hanya membutuhkan beberapa menit saja untuk sampai kesana.
Sesampai di Pantai Pasir Padi, kami terkagum kagum dengan pemandangan pasir putih yang menghampar landai begitu luas. Baru pertama kali ini, aku melihat hamparan pasir putih seluas ini. Pasirnya putih keemasan dan padat, mangkanya penduduk sekitar mengasosiasikannya dengan butiran padi. Hamparan pasir itu betul betul padat, sehingga mobil mobilpun dapat lalu lalang dengan mudah tanpa takut terjebak slip.
Terlihat disana sini beberpa anak muda dengan riangnya sedang bermain bola pantai. waw sangat menantang tentunya. Dan banyak pula orang orang yang duduk duduk menikmati senja di pantai ini.
Masih di sekitaran pantai Pasir Padi ini, kami memilih restoran Laut Biru. Pergi ke pantai ini kan awalnya adalah untuk cari makan. Tapi kami malah sangat beruntung mendapat pemandangan yang indah luar biasa itu. Kami menikmati santap tom yam yang disajikan dalam buah kelapa, ikan bakar, cumi goreng dan sambel tentunya. Sambelnya masih porsi biasanya dengan harga biasa pula walaupun kita ketahui bahwa harga cabai saat ini mencapai Rp 100 ribu / kg nya.
Kami menikmati betul santai dengan pemandangan yang indah. Tentu bikin nambah nambah lagi.

Masuk Lokasi Pantai Pasir Padi

Pasir Yang Padat

Menjelang Petang

Keindahanya, waw..

Menikmati Alam Indah

Refresentatif

Syukur Akan KaruniaMU

Nah kita sudah tahu dimana bersantap yang enak sambil menikmati pemandangan alam pantai yang indah di kota Pangkalpinang. tapi jangan lupa untuk menjaga wilayah pesisir ini ya. Yuk kita kesana.
Penulis: didi sadili


Menikmati Pantai Parai di Sungailiat Bangka

Pantai Parai yang berada di desa Matras Kabupaten Sungailiat di Provinsi Bangka Belitung adalah keelokan alam sebagai karunia Ilahi yang tidak terhingga. Pasirnya putih dengan air biru yang begitu jernih dan ditaburi batu batu vulkanis raksasa sungguh tentu akan mengundang decak kagum. -indah- sekali.
Pantai Parai dapat ditempuh dengan kendaraan pribadi selama 45 menit saja dari bandara Dipati Amir di Pangkalpinang Bangka. Kita keluar dari Bandara kecil tersebut langsung masuk kota Pangkalpinang kemudian melalui jalan mulus menuju kota Sungailiat. ketika kita melintasi perkotaan tersebut, nuansa orientalnya amat dirasakan, apalagi menjelang perayaan Imlek yang akan jatuh seminggu lagi. sebagaimana kita ketahui bersama bahwa kebudayaan masyarakat Bangka Belitung seperti halnya induk wilayah administrasinya dahulu yaitu Sumatera Selatan dengan kerajaan Sriwijayanya, sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Tionghoa.
Setelah menempuh jarak 50 km dari Bandara, kemudian di Kota Sungailiat kita belokkan kendaraan ke arah kanan masuk jalan yang lebih kecil, kita masuk ke Desa Matras. begitu masuk jalan kecil ini langsung terasa alam lautnya, karena jalan aspalnya saja banyak ditaburi pasir putih dari pantai. jalan ini kecil dan sepertinya tidak banyak kendaraan roda empat atau lebih yang melintasinya. kemudian kita masuk sebuah resort yang ada disitu yaitu Parai Resort. Serta merta decak kagum mulai keluar dari mulut kami ketika melihat pemandangan laut yang begitu biru dengan pasir putih dan batu batu besarnya. Wah, kami ingin segera terjun ke laut itu.
berikut adalah foto foto Pantai Parai;
The Last Eden

Beatifully

Tak Ada Kata Kata

Subhanallah


Selamat Berkunjung

             Penulis: didi sadili